HUKUM AGRARIA
DALAM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
- Konsep Dasar Pengembangan Dan Penataan Wilayah
- Konsep Pengembangan Wilayah.
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir
dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis
dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat
dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia
merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang
yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu
pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di
Indonesia.
Secara
konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai
rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber
daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah
nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor
pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.
Berpijak pada pengertian diatas maka
pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan
sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat
komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian
antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya
alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh
sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.
Pengembangan wilayah diselenggarakan dengan
memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat
dan/atau laut di setiap wilayah, serta
memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan
dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama
pengembangan wilayah adalah peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan masyarakat serta pemerataannya.
Pelaksanaan pengembangan
wilayah tersebut dilakukan secara terencana dan
terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor dan bidang.
Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata
ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya.
- Konsep Penataan Wilayah
Penataan wilayah dapat dipandang sebagai sebuah
pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mewujudkan ruang
yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman
mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk
mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia.
Sedangkan ruang yang produktif mengandung
pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien
sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat
sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung
pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga
generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan
mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan
Beranjak dari pemahaman diatas, maka tentunya
setiap tahap penataan wilayah yang terdiri atas perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, haruslah diletakan pada
pemikiran pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang
di dalamnya terkandung pula prinsip wawasan lingkungan (pro-environment).
Prinsip berkelanjutan dan prinsip berwasan
lingkungan sebagaimana disebutkan diatas, memiliki keterkonsep erat satu sama
lain. Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie,
berpendapat bahwa :
”Pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan yang
dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Sebaliknya, prinsip pembangunan
yang berkelanjutan juga harus di terapkan dalam kebijakan pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan
hidup sebagai unsur utamanya, dan tidak ada wawasan lingkungan tanpa
pembangunan berkelanjutan”
Merujuk pada pengertian diatas, maka untuk
dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber bagi pengembangan wilayah
nasional secara berkelanjutan serta menjamin kepentingan umum secara luas (public
interest), diperlukan sebuah konsep pengelolaan wilayah yang bertujuan agar
seluruh sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal.
Pengaturan tersebut dimaksudkan dalam
kerangka untuk pemanfaatan bumi, air, dan udara serta seluruh kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya, sejalan dengan tujuan
negara sebagaimana tegaskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
- Konsep Pengaturan Tata Ruang
Pada hakikatnya adalah suatu kebijakan publik
yang bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan
para pelaku pembangunan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna,
selaras, seimbang dan berkelanjutan. Selain itu, penataan ruang adalah
suatu proses untuk menentukan apa yang akan dicapai di masa depan dan
menjelaskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut” .
Pengaturan tata ruang sebagaimana
dikemukakan diatas, tidak terlepas dari konsep perencanaan, dimana dalam konsep
negara hukum perencanaan merupakan bagian dari tindakan pemerintah dalam
melaksanaan tugas-tugas administrasi negara sehingga perencanaan tidak dapat
dipisahkan dari lapangan hukum administrasi negara. Dalam kaitan ini, Philipus
M Hadjons,
menyatakan bahwa :
”Pada negara hukum kemasyarakatan moderen,
rencana selaku figur hukum dari hubungan hukum administrasi tidak dapat lagi
dihilangkan dari pemikiran. Rencana-rencana dijumpai pada pelbagai bidang
kegiatan pemerintahan, misalnya pengaturan tata ruang, pengurusan kesehatan,
dan pendidikan. Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling
berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan
tertentu yang tertib (teratur). Dengan sendirinya hanya rencana-rencana
yang berkekuatan hukum yang memiliki arti bagi hukum administrasi negara. Suatu
rencana menunjukan kebijaksanaan apa yang akan dijalankan oleh tata usaha
negara pada suatu lapangan bidang tertentu”
Pernyataan tersebut di atas sekaligus untuk
memberikan batasan bahwa perencanaan dalam kaitan dengan pengaturan dan
penataan ruang yang dimaksudkan di sini adalah perencanaan dalam prespektif
hukum administrasi merupakan salah satu instrumen pemerintahan sebab pada
kenyataannya, hampir semua organ pemerintahan membuat rencana-rencana dalam
rangka menjalankan kegiatannya.
Pengaturan tata ruang merupakan dasar bagi
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana tata
ruang tentunya harus memperhatikan keterkaitan antar wilayah, antar fungsi
kawasan dan antar kegiatan kawasan. Keterkaitan antar wilayah merupakan wujud
keterpaduan dan sinergi antar wilayah, yaitu wilayah nasioanal, wilayah
provinsi, dan wilayah kabupaten/kota. Keterkaitan antar fungsi kawasan
merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antar kawasan, antara lain meliputi
keterkaitan antar kawasan lindung dan kawasan budidaya. Keterkaitan antar
kegiatan
kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi
antar kawasan, antara lain meliputi keterkaitan antar kawasan perkotaan dan
kawasan pedesaan
Di Indonesia, penataan ruang itu sendiri diatur
dalam Undang Nomor 26 Tahun 2007, dimana penataan ruang merupakan proses
perencanaan tata tuang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka (13), angka (14) dan angka (15) dijelaskan
bahwa :
Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan
suatu struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan
rencana tata ruang.
Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang
dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta biayanya
Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang
Merujuk pada proses penataan ruang sebagaimana
dijelaskan diatas, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan
ruang dilakukan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah dan antar sektor bagi perwujudan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam satu kesatuan wilayah
yang meliputi wilayah darat, wilayah laut termasuk ruang udara dengan kata
kunci yaitu keterpaduan.
Dengan demikian, bahwa perencanaan tata ruang
merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mencakup proses
penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata ruang. Rencana
tata ruang setelah ditetapkan selanjutnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan
pembangunan yang memanfaatkan ruang dan pengendaliannya.
Rencana tata ruang berisi rencana struktur
ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan
pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistem
pusat-pusat permukiman, sistem jaringan transportasi (darat, laut, udara),
sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan
sistem jaringan prasarana sumber daya air yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang
berisi arahan distribusi peruntukan ruang untuk berbagai kegiatan baik
peruntukan ruang untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan
wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di
Indonesia,
maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang
terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
- proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
- proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
- proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk
mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan
produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan
tujuan pengembangan wilayah.
Tujuan pengembangan wilayah tersebut diatas,
merupakan salah satu bagian dalam perwujudan tujuan sistem perencanaan
pembangunan Nasional, yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi,
dan sinergi antar pemanfaatan ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam sistem perencanaan pembangunan Nasional maupun
perencanaan tata ruang keduanya menekankan suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan (prioritas) secara
berhierarki, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.
Jika perencanaan pembangunan Nasional berwujud
spasial dan non spasial, maka perencanaan tata ruang lebih menekankan pada
aspek spasial yang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang,
yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna
sumberdaya alam lainnya.
Adapun produk yang dihasilkan dari upaya/proses
perencanaan tata ruang adalah Rencana Tata Ruang.
Pengertian Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang
dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dalam aktivitas sosial-ekonomi
dan aktivitas lainnya dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,
seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability). Produk RTR secara garis besar terdiri atas RTRW Nasional, RTRW
Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota untuk wilayah administratif yang berhirarki,
serta RTR Kawasan fungsional.
Sebagai matra spasial dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, pengaturan tata ruang memberikan prinsip-prinsip
pemanfaatan ruang yang dapat mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan
antar wilayah dan antar sektor bagi perwujudan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam satu kesatuan wilayah yang
meliputi wilayah darat, wilayah laut termasuk ruang udara.
Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan
kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun
wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan.
Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hierarki. Dalam rangka mengoptimalkan
penataan ruang perlu ditingkatkan (a) kompetensi sumber daya manusia dan
kelembagaan di bidang penataan ruang, (b) kualitas rencana tata ruang, dan (c)
efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan,
maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Implementasi proses-proses penataan ruang
tersebut di atas diselenggarakan berdasarkan:
- Berdasarkan Sistem, dimana penataan ruang berdasarkan sistem, terdiri atas sistem wilayah dan sistem intenal perkotaan;
- Fungsi utama kawasan, dimana penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan, yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya;
- Wilayah administratif, dimana Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif, terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, wilayah propinsi dan kabupaten/kota;
- Sistem fungsi kawasan, dimana Penataan ruang berdasarkan kawasan, terdiri atas kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan; dan
- Nilai strategsi kawasan, dimana Penataan ruang berdasarkan nilai stategis kawasan, terdiri atas kawasan strategis nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Hasil dari perencanaan tata ruang berdasarkan
wilayah administratif adalah berupa Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Nasional
dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
Kabupaten; dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota)
Sedangkan hasil perencanaan tata ruang
berdasarkan kedalamnya (kerinciannya) adalah berupa :
- Rencana Umum (seperti RTRW Nasional/ Provinsi/ Kabupaten/Kota); dan
- Rencana Rinci (seperti RDTR Kabupaten/Kota, RTR Kawasan Pulau/Kepulauan, RTR Kawasan Strategis Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota).
Sementara itu, hasil perencanaan tata ruang
berdasarkan kegiatan kawasan adalah berupa:
- Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan; dan
- Rencana Tata Ruang Kawasan Pedesaan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis
menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional,
RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih
rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah Nasional sebagai satu
kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur
dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya
penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Pengaturan tata ruang sesuai peruntukan
merupakan tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk
mengatasi krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan
ruang yang baik dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik
diperlukan bagi :
- arahan lokasi kegiatan,
- batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam,
- efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan.
Penataan ruang yang baik juga harus didukung
dengan regulasi tata ruang yang searah, dalam arti tidak saling bertabrakan
antarsektor, dengan tetap memerhatikan keberlanjutan dan daya dukung
lingkungan, serta kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
- Prinsip-Prinsip Dalam Penataan Dan Pengembangan Dalam Konsep Pengelolaan Wilayah Laut
- Prinsip-prinisp Dalam Hukum Agrarian (UUPA)
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, merupakan
landasan kosntitusional bagi pembentukan politik dan hukum agrarian nasional,
yang di dalamnya berisikan dua (2) hal pokok, yakni :
- Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.
- Tujuan penguasaan tersebut adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Politik agraria mendasarkan keyakinan bahwa
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Negara Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME dan merupakan
kekayaan nasional. Adapun pelaksanaannya akan diatur di dalam berbagai
undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan
lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-undang Pokok Agraria
ialah :
- meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
- meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum pertanahan.
- meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Lebih lanjut dapat kita lihat bahwa wujud dari
politik hukum agraria itu sendiri adalah kewenangan atau kekuasaan negara untuk
mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur
agraria, yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa (dalam batas-batas
tertentu) yang dituangkan dalam kebijaksanaan yang dalam kenyataannya tertuang
dalam kaidah-kaidah hukum. Sedangkan tujuannya dari politik agrarian itu
sendiri adalah :
- Politik agraria nasional ditujukan untuk kemakmuran, kebahagiaan, dan kemakmuran rakyat Indonesia.
- Politik agraria nasional yang dijelmakan dalam sebuah UU untuk dijadikan dasar bagi pelaksanaan politik agraria tersebut, harus dapat melenyapkan dualisme, ketimpangan dalam pola pemilikan, penggunaan, dan penguasaan tanah.
Dalam operasionalisasi pembaruan agraria
terutama dalam kaitannya dengan perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip
yang harus dijadikan dasar berkaitan dengan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam, yakni antara lain :
- Prinsip Keberlanjutan
Prinsip ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1
ayat (1), yang menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia" Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa- sebagai
keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, mengandung makna (i)
adanya tanggung jawab untuk “menjaga” dan (ii) hal itu pula mewajibkan negara
untuk “melestarikan” segala sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk keberlanjutan masa depan demi kesejateraan rakyat sebagaimana
dimaksudkan dalam tujuan negara di dalam UUD NRI Tahun 1945.
- Prinsip Ketuhanan
Prinsip ini didasarkan pada Asas Ketuhanan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUPA. Ketentuan tersebut
menggambarkan adanya pengakuan segenap bangsa Indonesia bahwa “seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia” merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Konsep
ini pula yang melahirkan tanggung jawab bagi negara untuk menjaga dan
melestarikannya sesuai dengan tujuan negara yakni sebebsar-besarnya kemakmuran
rakyat.
- Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada
pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat
jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa)
bertindak selaku Badan Penguasa.
Dari prespektif inilah harus dilihat arti
ketentuan dalam pasal 2 ayat (1), pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh
Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan
"dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki",
akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada ting- katan yang
tertinggi :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
(pasal 2 ayat 2 dan 3). Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai
semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang
dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa
Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah
batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta
pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya
serta pasal-pasal dalam BAB II
- Prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan
bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2
maka di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada
tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini.
Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam
Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak
itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut
menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
- Prinsip Sosial
Prinsip ini diletakkan dalam pasal 6, yaitu
bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Ini berarti,
bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada
itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).
- Prinsip Nasional/Kebangsaan
Prinsip ini lahir dari asas kebangsaan yang
diakui oleh UUPA. Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka
menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing
dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik
(pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang
badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan
hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja
ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan
demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
- Prinsip Perencanaan
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi
cita-cita bangsa dan Negara tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya
suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan
persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat
dan Negara: Rencana Umum ("National planning") yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus
("regional planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya
planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur
hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
- Prinsip-Prinsip Pengembangan Dan Penataan Wilayah Dalam Konsep Pengelolaan Wilayah Laut
Sejalan dengan konsep pengembangan wilayah
sebagaimana dikemukan diatas, hubungannya dengan pengelolaan wilayah laut
(termasuk pesisir) maka perlu
diperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar,
yang meliputi keterpaduan perencanaan, desentralisasi pengelolaan, pembangunan
berkelanjutan, serta keterbukaan dan partisipasi masyarakat.
- Prinisp Keterpaduan
Prinsip keterpaduan menjadi salah satu prinsip
yang mendasar dalam kerangka penataan ruang yang berfungsi untuk memberikan
landasan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan baik yang bersifat
kewilayaan maupun sektoral, khususnya dalam kerangka pemanfaatan sumber daya
alam. Prinsip keterpaduan merupakan salah satu asas dalam kerangka penyelenggaraan
penataan ruang sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 butir (a)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Penataan ruang pada wilayah laut menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Hal ini
disebabkan karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh terhadap
subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang
nasional secara keseluruhan. Sejalan dengan hal tersebut diatas,
maka pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem
keterpaduan sebagai ciri utama, yang ditekankan pada pendekatan kesisteman yang
kompleks berlandaskan pada 4 (empat) prinsip utama yakni (1). holistik
dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-desa,
lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan
penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif,
serta (4). pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang .
Selain hal-hal yang dikemukakan diatas,
terdapat pula beberapa hal pokok yang menjadi dasar dari prinsip keterpaduan
yakni keterpaduan perencanaan sektoral secara horizontal dan vertikal;
keterpaduan ekosistem darat dan laut; keterpaduan sains dan manejemen; dan keterpaduan
antar negara.
Memperhatikan uraian sebagaimana dikemukakan
diatas, terlihat jelas bahwa pola keterpaduan menjadi sangat penting dan mutlak
dalam konteks penataan ruang secara terpadu sehingga dapat mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya. Fungsi keterpaduan tersebut
tidak hanya keterpaduan lintas sektoral dan lintas propinsi saja melainkan juga
keterpaduan antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, sehingga
proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan
untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya dalam
pemanfaatan sumber daya di wilayah laut.
- Prinisp Desentralisasi Pengelolaan Dan Penguatan Kelembangan
Seiring dengan perkembangan pelaksanaan otonomi
daerah, masalah penataan ruang yang dihadapi pun semakin kompleks. Dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, wewenang pengaturan tata ruang dimaksudkan
sebagai pembentukan landasan hukum
bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat. Wewenang penyelenggaraan tata ruang yang kemudian di
implementasikan dalam rencana tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang
Wewenang pemerintah daerah provinsi berkaitan
dengan perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, juga
diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yakni Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan
Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang,
Pemberian wewenang kepada daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang memerlukan memerlukan koordinasi guna
mengharmonisasikan dan menyeleraskan pembangunan baik pembangunan nasional,
pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah. Untuk itu diperlukan
kebijakan dan strategi penataan ruang dan pengembangan wilayah yang mampu
menjawab berbagai isu-isu ataupun permasalahan pembangunan yang
berkembang dewasa ini, terutama berkaitan dengan penataan ruang wilayah laut
mengingat pengaturan mengenai batas-batas wilayah laut dalam pemanfaatan sumber
daya laut belum sepenuhnya memiliki kepastian hukum.
Namun demikian, desentralisasi sebagai bentuk
penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, namun haruslah diletakan dalam
prespektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi luas kepada
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, daerah
diharapkan mampuh meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta poteni dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Philipus
M. Hadjon menegaskan bahwa :
”Daerah memiliki kemandirian dan kebebasan
dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, dan terhadap
urusan pemerinatahan yang diserahkan itu, daerah mempunyai kebebasan (vrijheid)
untuk mengatur dan mengurus sendiri dengan pengawasan dari pemerintah pusat
atau susunan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan tetap adanya
pengawasan, kebebasan itu tidak mengandung adanya kemerdekaan (onafhankelijk)”
Dengan demikian meskipun otonomi daerah adalah
kebebasan dan kemandirian bersifat staatsrechtelijk, untuk mengatur dan
mengurus sebagian urusan pemerintahan. tetapi daerah otonom bukanlah satuan
kenegaraan, sehingga kebebasan dan kemandirian tersebut haruslah dimaknai dalam
konsep negara kesatuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum
administrasi wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi
negara selalu disertai dengan tujuan dan maskud diberikannya wewenang itu,
sehingga pemberian wewenang tersebut sesuai dengan “tujuan dan maksud”
diberikannya wewenang tersebut.
Oleh karenanya, setiap tindak pemerintahan
seharusnya bertumpuh pada sebuah kewenangan yang sah menurut ketentuan
perundang-undangan, sehingga akan jelas maksud dan tujuan pemberian wewenang
itu sendiri, sehingga dapat menjadi ukuran dalam menentukan stadar wewenang itu
sendiri. Dalam hubungan ini, Philipus M Hadjon, menjelaskan bahwa:
”setiap tindakan pemerintah senantiasa
didasarkan pada suatu kewenangan yang sah. Setiap kewenangan dibatasi oleh
isi/materi, wilayah dan waktu. Catat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan
cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut pertama cacat isi
(onbevoegdheid ratione materiae), kedua, cacat wilayah (onbevoegdheid
ratione locu), dan ketiga, cacat waktu (onbevoegdheid ratione
temporis)”
Sementara itu, Tatiek Sri Djatmiati, dalam
disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan,
yakni bahwa :
”Hubungan administrasi atau hukum tata
pemerintahan (administratiefrecht atau bestuursrecht) berisikan
norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi
parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh
badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang
itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (improper legal
or improper ilegal) , sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan
dilakukan secara “improper ilegal” maka badan pemerintah yang berwenang
tersebut harus mempertanggungjawabkan”
Pendapat terakhir ini, dihubungkan dengan
adanya standar wewenang, yakni standar umum (untuk semua jenis wewenang) dan
standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu) maka standar wewenang tersebut
digunakan untuk menguji penggunaan wewenang (wewenang pemerintahan). Pengujian
terhadap penggunaan wewenang tersebut didasarkan norma hukum administrasi yakni
norma umum dan norma khusus (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Selain itu, pengujian terhadap penggunaan
wewenang pemerintahan dapat pula didasarkan pada kategori suatu keputusan baik
yang bersifat terikat maupun keputusan yang bebas. Dalam pada itu, Philipus
M Hadjon, menjelaskan bahwa :
”Bagi KTUN terikat, pada dasarnya KTUN itu
hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan
bagi pejabat yang bersangkutan.
Sedangkan KTUN bebas didasarkan pada suatu
kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas ‘freies ermessen’ (discretionary
power)”
Untuk membedakan membedakan kebebasan
pemerintahan, yang dibedakan dalam kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid)
dan kebebasan menilai (beoordelingsvrijheid). Philipus M Hadjon,
kembali menjelaskan bahwa :
”Adanya kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi
dalam arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang
tertentu kepada organ pemerintahan. Sedangkan organ tersebut bebas untuk
(tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah
terpenuhi. Selanjutnya mengenai kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam
arti yang tidak sesungguhya, adalah hak
yang diberikan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan
eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah
dipenuhi. Kebesan penilaian dapat terwujud dalam dua cara sebagai
kewenangan organ pemerintah untuk memutuskan secara mandiri atau denga cara apa
penanganannya. Disamping sebagai wewenang untuk mengintepretasikan
norma-norma tersamar yang mendiskrisikan bagaimana wewenang tersebut digunakan.
...Bentuk pertama dari kebebasan penilai seringkali dilukiskan sebagai
kewenangan diskresi (bebas); bentuk kedua sebagai kewenangan untuk
mengintepretasikan norma tersamar”
Dengan demikian, maka pengujian terhadap
keputusan yang dibuat atas dasar wewenang terikat didasarkan pada ketentuan
perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Sedangkan untuk keputusan yang
bersumber pada kewenangan bebas, maka terbuka kemungkinan untuk menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar penilaian.
Sejalan dengan pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan (dalam menjalankan urusan pemerintahan) yang sedemikian kompleks,
maka pemerintah memiliki kebebasan untuk bertindak. Philipus M Hadjon,
mengemukakan bahwa :
”Dengan adanya kebebasan untuk bertindak, tidak
berarti bahwa administrasi negara bebas dari undang-undang, akan tetapi
kebebasan itu diberikan agar pemerintah sendiri membuat ketentuan dalam situasi
yang konkrit, yang pada dasarnya berarti kebebasan untuk menerapkan peraturan
dalam situasi konkrit, kebebasan untuk mengatur situasi konkrit tersebut, dan
kebebasan untuk bertindak meskipun tidak ada/belum ada pengaturannya secara
tegas (sifat aktifnya pemerintah)”
Kebebasan untuk bertindak sebagaimana diuraikan
diatas, lazimnya disebut Freis Ermessen. Ketika freis
Ermessen ini dituangkan kedalam peraturan tertulis, maka akan menjadi
peraturan kebijaksanaan (Beleidsregel). Dengan kata lain, peraturan
kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan pemerintah yang
bertujuan “naar buiten gebracht
schricftelijk beleid” yaitu menampakan keluar suatu kebijakan tertulis.
Menurut Abdul Latif, “Peraturan
kebijaksanaan selalu muncul dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan yang
‘tidak terikat’ (vrijbeleid) dalam arti tidak diatur secara tegas oleh
peraturan perundang-undangan. Selain itu juga, dipengaruhi oleh
keterbatasan pangaturan dari ketentuan tertulis (peraturan perundang-undangan)
jika dibandingkan dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat.
Sebagaimana diketahui bawha pembangunan daerah
merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka
pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan
permasalahan pembangunan di daerah. Oleh karena itu, kinerja pembangunan
nasional merupakan agregat dari kinerja
pembangunan seluruh daerah, sedangkan
pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional . proses dari pencapaian
tujuan di tingkat provinsi dan pencapaian tujuan di tingkat
kabupaten/kota.
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, maka
pemberian kewenangan yang begitu luas kepada daerah tentunya memerlukan
koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmonisasikan dan menyerasakan arah
pembangunan baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah, maupun pembangunan
antar daerah. Dengan demikian, konsep perencanaan pembangunan baik nasional
mapun daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memungkinkan akan terjadinya
hubungan saling komplementer dan keserasian yang lebih baik dalam sinergisitas
konsep dan implementasi antara sistem penataan ruang dan sistem perencanaan
pembangunan nasional.
Dalam pada itu, proses perencanaan sebagaimana
dijelaskan diatas, dihubungkan dengan konsep perencanaan pembangunan , mencakup
5 (lima) pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan itu sendiri yang
mencakup politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down) dan
bawah-atas (bottom-up).
Selain desentraliasi pengelolaan, aspek
penguatan kelembagaan pemerintahan di daerah juga merupakan bagian terpenting
dalam kerangka pengaturan tata ruang (termasuk pada wilayah laut). Penguatan
kelembagaan diarahkan untuk mendorong perubahan terhadap konsep budaya
partisipasi masyarakat yang konstruktif, koodinasi lintas sektor yang
produktif, desentralisasi keputusan yang efektif, pendekatan hukum lintas
sumberdaya yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan terbuka pada
pertimbangan ilmu dan teknologi secara positif.
Untuk itulah, maka penguatan kelembagaan
dimaksudkan dalam kerangka pengembangan institusi yang mempunyai:
- Kemampuan untuk melakukan koordinasi lintas sektor;
- Unit lembaga yang mempunyai peran koordinasi yang efektif;
- Kewenangan mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian izin kegiatan;
- Kemampuan menginternalisasikan budaya partisipasi dan kinerja yang baik;
- Kepemimpinan yang tidak berpihak dan memahami konsep pembangunan berkelanjutan’ dan
- Kemampuan menumbuhkan pembentukan dana lingkungan.
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka
desentralisasi pengelolaan dan penguatan kelembagaan yang dilakukan baik melalui
sistem perencanaan tata ruang maupun pembangunan nasional haruslah senantiasa
melibatkan berbagai sektor kepentingan yang terlibat di dalamnya sehingga dapat
mengakomodir berbagai kepentingan yang bersifat sektoral dan mampu untuk
meminimalisir berbagai konflik di dalam pelasanaannya.
- Prinsp Pembangunan Berkelanjutan;
Secara konseptual, pengertian pembangunan
berkelanjutan berasal dari ilmu ekonomi yang terutama di kaitkan dengan
persoalan efisiensi dan keadilan (equity) untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari segi ekonomi
ini juga dilatarbelakangi oleh ilmu biologi yang membahas keberlanjutan dari
segi kemampuan dan kesesuaian (capability and surtability) suatu likasi
dengan potensi regenerasi/produktivitas lingkungan hidupnya.
Konsep ‘berkelanjutan’ (sustainability)
sebenarnya telah lama dikenal sebagai bagian dari biologi. Pada konferensi
“Analisa dan Manajemen Penggunaan Berkelanjutan Tanah Hutan Tropis” (Forests
Land Assessment and Management for Sustainable Uses) perkataan ‘sustainable
use’ diartikan sebagai :
‘continuing national use of land without severe
or permanent deterioration in the quality and quantity of one or more component
of the integrated ecosystem or landscape unit’.
Istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable
development merupakan konsep baru yang terkait dengan konsep
pembangunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan
keadilan. Melakukan efisien untuk memperbesar kue pembangunan, dan keadilan
(equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.
Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat
ditemukan baik secara eksplisit maupun implicit dalam berbagai perjanjian
internasional dan berbagaai instrumen lainnya.. Sedangkan Rokhmin Dahuri,
mengemukakan bahwa :
”Prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
marine development) adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan
untuk kesejahteraan manusia terutama stakeholders sedemikian rupa,
sehingga laju tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung
(carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya”
Prinsip-prinsip umum pembangunan berkelanjutan
dalam sistem pengaturan sumberdaya alam mengalami perkembangan yang cepat sejak
Deklarasi Stockholm – 1972, kemudian berkembang dan diperluas dalam Deklarasi
Rio – 1992, dan kemudian mencapai puncaknya pada Deklarasi Johannesburg pada
tahun 2002. Prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pembentukan
kaidah hukum baru meliputi:
- Kewajiban yang dimuat dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan prinsip 2 Deklarasi Rio yang mengatur hak berdaulat negara atas sumberdaya alam dan tanggungjawab negara untuk mencegah dampak lingkungan yang bersifat lintas batas batas negara;
- Prinsip melakukan tindakan pencegahan (the principle of prevention action);
- Prinsip bertetangga yang baik dan kewajiban melakukan kerjasama internasional;
- Prinsip pembangunan berkelanjutan (the principle of sustainable development);
- Prinsip kehati-hatian (the precautionary principle);
- Prinsip pencemar membayar (the polluter – pays principle); dan
- Prinsip kebersamaan dengan tanggungjawab yang berbeda (the principle of common but differentiated responsibility).
Selanjutnya, Rokhmin Dahuri, mengatakan
bahwa terdapat 5 (lima) persyaratan agar pembangunan wilayah/ekosistem
(termasuk pesisir dan lautan) dapat berlangsung secara berkelanjutan antara
lain adalah:
”Pertama, perlu adanya keharmonisan
ruang (spatial harmony) untuk kehidupan manusia dan kegiatan
pembangunan. Kedua, tingkat/laju pemanfaatan sumber daya alam dapat
pulih (seperti sumber daya perikanan dan mangrove), tidak boleh melebihi
kemampuan pulih (renewable capacity). Dalam pengelolaan sumber
daya perikanan disebut dengan potensi lestari (maximum sustainable yield)
dan dalam pengelolaan mangrove, disebut dengan jatah tebagan yang diperblehkan
(total allowance harvest). Ketiga, eksploitasi bahan tambang dan
mineral (sumber daya tidak pulih) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak
merusak lingkungan dan tatanan fungsi ekosistem pesisir dan lautan. Keempat,
jenis limbah yang dibuang kepesisir dan lautan bukan bersifat bahan berbahaya
beracun (B3) seperti logam berat dan pestisida. Kelima, pembangunan
dermaga (jetty), pemecah gelombang (breakwaters), pelabuhan laut, dan infrastuktur
lainnya, harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah
lingkungan pesisir dan
lautan.
Menyadari bahwa pentinya sumberdaya kelautan,
yakni sebagai salah satu sumber ekonomi nasional, maka timbul kesadaran untuk
merubah kembali tatanan serta arah pembangunan nasional yang tidak semata-mata
berorientasi pada daaratan (land based oriented) namun diarahkan kepada
pembangunan berbasis kelautan (maritim). Untuk mengoptimalkan nilai manfaat
sumberdaya kelautan bagi pengembangan wilayah secara
berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum
secara luas, diperlukan suatu kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah
yang terintegrasi dan berkesinambungan.
Untuk itulah maka, arah kebijkaan pengelolaan
sumber daya laut sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan sebagaiman
dikemukakan diatas, diperlukan suatu pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya di wilayah laut denngan memperhatikan lingkungan. Hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumber
daya di wilayah pesisir, berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan antar
kepentingan sektor.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui
bawa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi sangat penting dalam konteks
pengaturan tatar ruang laut secara terpadu, mengingat bahwa pengelolaan wilayah
laut dan pesisir yang melibatkan berbagai sektor utamanya pada pemanfaatan
sumber daya alam di wilayah laut, memberikan dampak antara lain pada wewenang
pengelolaan yang tidak terintegrasi, terdapat
perbedaan tujuan, sasaran dan rencana sehingga
memunculkan rivalitas/konflik diantara pengguna dan tumpang tindihnya
perencanaan
Terkait dengan rivalitas atau konflik dalam
penggunaan wilayah laut dan pesisir, dapat terjadi pada skala multi-nasional (the
multi-national scale), sehingga akan memunculkan konflik internasional (internasional
conflicts) yang terjadi berkaitan dengan zona atau batas yuridiksi nasional
dengan negara tetangga, berkaitan dengan polusi atau degradasi ekosistem
lingkungan serta berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam
dan konflik lokal (domestic conflicts) yang dapat terjadi antara
pengguna atau antara pemerintah dengan pengguna atau dapat saja terjadi secara
kumulatif..
Memperhatikan berbagai isu dan kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir terutama
berkaitan dengan upaya penataan wilayah laut dan pesisir secara terpadu, maka
pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di
wilayah laut dan pesisir sebagaimana dikemukakan diatas dalam hubungan dengan
penataan ruang wilayah laut untuk pengelolaan wilayah laut secara terpadu lebih
lanjut diimplementasikan dalam konsep Integrated Coastal Management .
Sebagai kerangka acuan dalam mengelola wilayah
laut utamanya dalam kaitan dengan pengaturan tata ruang pada wilayah laut,
dapat mengacu kepada konsep pengelolaan wilayah laut secara terpadu, dengan
didasarkan pada Integrated Coastal Manegement (ICM), dimana
pengaturan mengenai tata ruang pada wilayah laut ditekankan pada sistem
kewenangan kewilayaan/zonasi baik pada tataran nasional maupun pada tataran
lokal daerah. Kebijakan dan strategi dalam penataan ruang laut berdasarkan Integrated
Coastal Manegement (ICM), berisikan prinsip-prinsip yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, integrasi undang-undang terkait dan
integrasi sektoral.
Integrated Coastal Management, merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut yang melibatkan dua atau lebih ekosiste, sumber daya, dan
kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna
mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam
konteks demikian, Integrated Coastal Management, mengandung tiga dimensi
yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu dan ekologis.
Pengelolaan tepadu secara sektoral berarti
adanya koordinasi antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau
instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration),
dan antar tingkat pemerintahan (vertical integration). Selanjutnya
pengelolaan terpadu secara keilmuan berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu (interdiclipinary
approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik,
sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan.
- Prinisp Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Asas kepastian
hukum dalam negara hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
Berkaitan dengan penataan ruang, asas kepastian
hukum dirumuskan dalam Pasal 2 huruf (h) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
dimana dalam penjelasannya dijelaskan bahwa ”yang dimaksudkan dengan asas
kepastian hukum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan
hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang
dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi
hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan
pihak-pihak mana yang mempunyai akses,hak memiliki, dan memanfaatkan sumber
daya laut dan pesisir. Pemilikan dan penguasaan sumber daya tersebut dilindungi
oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Dengan demikian, setiap orang
atau kelompok dapat mengelola wilayah laut dan pesisir secara terencana
dan memiliki rasa kepemilikan (stewardship), yang menjadi nilai dasar
pelestarian tersebut.
Kepastian hukum juga dapat memberikan rasa
keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan
sumber daya pesisir,tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumber daya
dari daerah lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan
keamanan investasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha.
Sedangkan bagi Pemerintah Daerah, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi
dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung
jawab.
Prinsip-prinsip tersebut diatas diharapkan
mampu menjadi kerangka dasar dalam pengelolaan wilayah laut secara terpadu.
Dengan demikian, seluruh aktivitas yang terkait dalam pengelolaan wilayah laut
termasuk pesisir seyogyanya dapat memperhatikan prinsip-prinip tersebut
diatas.
- Pendekatan Dalam Hukum Agraria Berkenaan Dengan Wewenang Pengelolaan Atas Wilayah Laut.
- Konsep Hak Menguasai Negara
Konsepsi mengenai hak menguasai negara (HMN) di
dasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Pengaturan tersebut dimaksudkan dalam kerangka untuk pemanfaatan bumi,
air, dan udara serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk
sebesar-besarnya, kemakmuran rakyat sejalan dengan tujuan negara sebagaimana
tegaskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Pemaknaan tujuan negara sebagaimana ditegaskan
dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak terlepas dari konsep ”hak penguasaan negara”
yang teraktualisasi secara tegas dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945. Konsepsi ”dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun l945 tersebut, telah ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi, yang merumuskan bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu
yang lebih tinggi dari pemilikan.
Terhadap makna “dikuasai oleh negara” dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dinyatakan bahwa:
“….pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945, mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas
daripada pemilikan
dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan
konsepsi hukum publik yang berkonsep dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik)
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Rumusan pengertian dikuasai negara dalam
rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan diatas
tidak saja memiliki keterkonsep dengan prinsip kedaulatan rakyat tetapi juga
mengandung prinsip demokrasi. Corak pengaturan konstitusional mengenai
kedaulatan rakyat atau demokrasi ekonomi ini pula yang menyebabkan UUD NRI
Tahun 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik melainkan juga konstitusi
ekonomi. Artinya, menurut UUD NRI Tahun 1945, rakyat Indonesia itu berdaulat
tidak saja di bidang politik, tepapi juga dibidang ekonomi dan sosial.
Makna dalam frasa ”dikuasai oleh negara”
dimaknai sebagai bagian dari fungsi mengatur (regelendaad) dan fungsi
negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagai bagian dari
tanggung jawab negara. Pengurusan yang
dimaksud adalah kewenangan negara c.q pemerintah untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie),
dan konsesi (concessie). Fungsi tersebut juga berkonsep dengan tanggung
jawab negara semata-mata, tetapi juga sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi
manusia.
Dalam persfektif konsep hak asasi manusia,
dalam hal hubungan negara dengan warganya, rakyat berposisi sebagai pemegang
hak (right holder), sementara di sisi lain negara berkedudukan sebagai
pengemban kewajiban (duty holder), dimana kewajiban negara yang mendasar
adalah melindungi dan menjamin hak asasi warganya (rakyat) segaimana dijamin
oleh konstitusi (undang-undang dasar).
Dengan didasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 dalam konsep dengan hak menguasai dari negara
sebagaimana dikemukakan diatas, lebih lanjut dapat pula kita Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di dalam
Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa :
“Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat
(1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”
Dari rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU
Nomor 5 Tahun 1960 diatas, makna “hak menguasai negara” tercakup pula
pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Rakyat secara
kolektif itu dikontsruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 memberikan mandat kepada
negara untuk mengadakan:
- kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
- pengaturan (regelendaad),
- pengelolaan (beheersdaad) dan
- pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh
negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan
konsesi (concessie).
- Wewenang Pengelolaan
Pelimpahan wewenang HMN sebagaimana dikemukakan
diatas, selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA, disebutkan
bawha :
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya dalam penjelasan umum UUPA
sebagaimana disebutkan dalam Angka II Nomor 2, yakni bahwa :
Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya HM, HGU, HGB, atau HP atau memberikannya dalam pengelolaan
kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa
hak pengelolaan adalah merupakan hak yang lahir dari adanya HMN sebagaimana
dijelaskan sebelumnnya diatas. Dengan kata lain, Hak Pengelolaan
merupakan hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya.
Adapun wewenang pemengang hak pengelolaan yakni
merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, dan menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan
kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Lebih lanjut
dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, di sebutkan pula bahwa :
“Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
- untuk keperluan Negara,
- untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
- untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
- untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
- untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Beranjak dari uraian yang dikemukakan
diatas, hak menguasai negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 junto Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun
1960, dalam hubungannya dengan penataan dan pengaturan tata ruang pada
wilayah laut haruslah dimaknai pula dalam hal “mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut” Wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimaan
dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf (a) UUPA.
Dengan demikian, penataan dan pengaturan
terhadap ruang pada wilayah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
untuk menatakelola wilayah laut beserta dengan sumber daya alam yang terkandung
di dalamnya, sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945.
Daftar PUSTAKA
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Rangka Pengelolaan (Termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam Yang
Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi. Makalah Disampaikan Pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar,
14-18 Juli 2003.
Dina Sunyowati (2008), Kerangka Hukum
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam
Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Disertasi, Arlaingga.
Hermit Herman (2008), Pembahasan Undang-Undang
Panataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007), Mandar Maju, Jakarta.
H. Abdul Latif, Hukum dan Peraturan
Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintah Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie, (2009), Green
Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Penerbit Rajawali Pers, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Jimly asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta 2006
Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan
Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak
Azasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra
Pesisir, Jakarta, 2005.
Philipus M Hadjon (1994), Fungsi Normatif Hukum
Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian
Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga.
Philipus M.Hadjon (2005), Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia_Introduction to the Administrative Law, Gadja Mada
University Press
Philipus M. Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian
Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), h. 144-145
Phlipus M Hadjon Discretionary
Power Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Makalah
tanpa tahun penerbit, h. 3-6
Philipus M Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian
Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling).
Rohmin Dahuri (2003), Baru Pembangunan
Indonesia Berbasis Lautan, Orasi Ilmiah Sebagai Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Lautan Institur
Pertanian Bogor.
Rohmin Dahuri Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha
Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, 2004.